Lintas Kepri

Infromasi

Dinilai Merendahkan Dokter, IDI Tolak Prodi DLP

Okt 25, 2016
Sebanyak 200 dokter umum dan spesialis yang tergabung didalam keanggotaan IDI saat foto bersama.Sebanyak 200 dokter umum dan spesialis yang tergabung didalam keanggotaan IDI saat foto bersama.
Sebanyak 200 dokter umum dan spesialis yang tergabung didalam keanggotaan IDI saat foto bersama.
Sebanyak 200 dokter umum dan spesialis yang tergabung didalam keanggotaan IDI saat foto bersama.

Tanjungpinang, LintasKepri.com – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Tanjungpinang mendukung gerakan penolakan adanya program studi (Prodi) Dokter Layanan Primer (DLP) karena dinilai telah merendahkan dan meragukan kompetensi dokter.

Penolakan itu disampaikan sebanyak 200 dokter umum dan spesialis yang tergabung didalam keanggotaan IDI saat melakukan aksi damai di hari ulang tahun (HUT) IDI Ke-66 di RSUD Tanjungpinang.

Para dokter membawa spanduk bertuliskan IDI Cabang Tanjungpinang konsisten menolak Prodi Dokter Layanan Primer (DLP) sesuai keputusan muktamar IDI tahun 2015.

“Say No…DLP, Say No…DLP, Say No DLP…,” kata ratusan dokter saat berorasi di halaman RSUD Tanjungpinang, Senin (24/10).

DLP sendiri dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan agar universitas yang memiliki Fakultas Kedokteran membuat Prodi DLP di kampus.

Penolakan tersebut terjadi bukan di wilayah Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau saja. Akan tetapi serentak bersama IDI seluruh Indonesia yang memang mengusung isu penolakan DLP tersebut.

Menurut Sekretaris IDI Tanjungpinang, dr. Raja Ahmad Anzali menuturkan, Dokter Layanan Primer tersebut sebenarnya sama dengan dokter umum. Hanya saja dianggap setara dengan dokter spesialis. Padahal, dokter umum itu juga setara dengan dokter spesialis.

“Tujuannya sendiri adalah meningkatkan layanan mutu di layanan primer seperti puskesmas dan klinik serta menekan angka rujukan dari Puskesmas ke rumah sakit. Karena sebenarnya di Puskesmas itu bisa melayani 155 penyakit, dan tidak perlu ke rumah sakit,” papar Ahmad Anzali saat melakukan konferensi pers bersama awak media usai melakukan aksi damai sempena dengan HUT IDI ke-66 di RSUD Tanjungpinang.

Sekretaris IDI, dr. Raja Ahmad Anzali (kanan) saat foto bersama Dewan Penasehat IDI Cabang Tanjungpinang dr. Augustine (kiri).
Sekretaris IDI, dr. Raja Ahmad Anzali (kanan) saat foto bersama Dewan Penasehat IDI Cabang Tanjungpinang dr. Augustine (kiri).

Ia mengaku, IDI seluruh Indonesia tidak setuju dengan adanya DLP. Permasalahan peningkatan layanan mutu di pelayanan primer dan meningkatkan angka rujukan sebenarnya bisa dilakukan dengan menambah dana kapitasi atau tenaga medis di Puskesmas dan klinik.

“Salahnya lagi, memang DLP itu dilandasi UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter, tapi turunannya belum ada, belum ada Peraturan Presiden, belum ada Keputusan Menteri kok malah sudah mau digulingkan. Lagian banyak prosedur yang memakan waktu, terutama uang, dan itu sia-sia karena toh memang dokter umum bisa melakukannya, nggak perlu DLP,” tegas Ahmad Anzali.

Menteri Kesehatan mengajukan permohonan kepada Kemristekdikti untuk menyelenggarakan pendidikan DLP dengan waktu belajar minimal dua tahun. Yang bisa menyelenggarakan adalah Fakultas Kedokteran di Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang telah terakreditasi A.

Ahmad Anzali mengatakan DLP yang dicanangkan oleh Kemenkes tersebut malah akan memberatkan calon dokter karena program tersebut merupakan kewajiban. DLP justru meragukan kompetensi calon dokter yang sudah menempuh pendidikan sebelumnya.

“Sebelum bertugas, para calon dokter sudah menjalani uji kompetensi, sertifikasi dan pembekalan dokter. Di dalam UU Pendidikan Kedokteran, standar kompetensi sudah diatur tanpa harus menjalani DLP. Program DLP ini terkesan menyiksa karena DLP ini seperti memaksa para dokter untuk mengulangi apa yang sudah mereka pelajari di bangku pendidikan. Sementara itu dokter harus menempuh pendidikan dengan jangka waktu yang lama yakni 7 tahun,” tuturnya.

Selain itu, kata Ahmad, program DLP akan membebani uang negara karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Menurut dia, negara harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah per tahun untuk satu orang dokter uang menjalani program DLP. Sementara terdapat lebih dari 100 ribu dokter di Indonesia yang harus menjalani DLP.

Oleh karena itu, kata dia, sebaiknya pemerintah mengalihkan dana DLP yang besar itu untuk perbaikan tata kelola penyebaran dokter dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia.

“Lagian aneh, cuma di Indonesia ada gelar dokter setara spesialis, karena di dunia internasional juga tidak ada, yang ada dokter umum dan dokter spesialis. Dokter umum itu sendiri sama dengan dokter spesialis. Hampir setara juga,” ujarnya. (Iskandar)

Bagikan Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *